PDHI BANTEN I

PDHI BANTEN I

SELAMAT DATANG,
FORUM
PERHIMPUNAN DOKTER HEWAN WILAYAH SERANG, CILEGON, PANDEGLANG DAN LEBAK.

Rabu, 16 Maret 2011

Penetapan Masalah Prioritas Kesehatan

   

Penentuan/Penetapan Prioritas Masalah Kesehatan, 
Dapatkah diterapkan pada fungsi kesehatan hewan?

Oleh : Novia Herwandi

Penetapan prioritas masalah kesehatan dalam beberapa angka penyakit diperlukan suatu pembahasan mengingat keterbatasan kemampuan, sumber dana dan sumber daya manusia yang ada dalam mengatasi berbagai masalah yang ada di Dinas Kesehatan Tingkat Kabupaten/Kota, sehubungan dengan hal tersebut dibutuhkan suatu prioritas untuk memudahkan pemecahan permasalahan kesehatan yang ada. Salah satu metoda penentuan prioritas adalah dengan metode Hanlon, dengan langkah-langkah berikut :

1. Menentukan besarnya masalah

Besarnya masalah kesehatan ditentukan berdasarkan besarnya jumlah penduduk yang terkena dampak negatif akibat masalah tersebut yang diukur berdasarkan insiden, prevalensi dan mortalitas masing-masing penyakit, setiap masalah diberi skore antara 1 – 10 dengan kriteria sebagai berikut :

1 – 2 = Apabila masalahnya sangat kecil
3 – 4 = Apabila masalahnya kecil
5 – 6 = Apabila masalahnya sedang
7 – 8 = Apabila masalahnya besar
9 – 10 = Apabila masalahnya sangat besar

2. Menentukan tingkat kegawatan masalah

    Sebagai kriteria menentukan tingkat kegawatan masalah ditentukan oleh 3 (tiga) faktor, yaitu : 
    a. Tingkat kedaruratan yang harus mendapatkan penanganan segera
    b. Tingkat kecenderungan akan menjadi kejadian luar biasa
    c. Tingkat keganasan masalah sehingga dapat mengakibatkan kematian yang tinggi 
    d. Masing-masing faktor diberi skor antara 1 – 20, dengan kriteria sebagai berikut :

  1 – 4     = Apabila kegawatan masalah ringan
  5 – 8     = Apabila kegawatan masalah tidak serius
  9 – 12   = Apabila kegawatan masalah cukup serius
14 – 16   = Apabila kegawatan masalah 
serius
17 – 20   = Apabila kegawatan masalah sangat seri
us 

Disain dan Implementasi - Kebijakan dan Manajemen Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Hewan Menular



Disain dan Implementasi - Kebijakan dan Manajemen
Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Hewan Menular

Oleh :
Novia Herwandi

Pihak-pihak yang terlibat dalam Birokrasi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Hewan Menular

Unsur organisasi
Fungsi yang menjamin pemberian layanan
Pihak
Top decision maker
Penanggung Jawab Program
Kepala Dinas (Fungsi Kesehatan Hewan)
Middle manager
Penanggung Jawab Kegiatan
Kepala Bidang/Balai
Technostructure
Penanggung Jawab Teknis
Kepala Seksi
Support staff
Pelaksana Teknis
Tim Pelaksana
Operating core
Pelaksana Operasional Lapangan
Petugas Lapangan Tingkat Kecamatan (PUSKESWAN) dan Kader Kesehatan Hewan

Pola Desain Matrik Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Hewan Menular





Pola Desain Matrik Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Hewan Menular


Selasa, 15 Maret 2011

RABIES

Dari  : 
drh. Andri Jatikusumah (http://www.civas.net/content/rabies)

PENDAHULUAN

Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus Rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Rabies disebut juga penyakit anjing gila
Menurut bahasa, Rabies berasal dari bahasa latin “rabere” yang mempunyai arti marah atau dengan kata lain mempunyai sifat pemarah. ”rabere” juga kemungkinan berasal dari bahasa terdahulu yaitu bahasa Sanskrit “rabhas” yang bermakna kekerasan. Orang Yunani meng-adopsi kata “Lyssa” yang juga berarti “kegilaan”.   Jika dilihat dari sisi bahasa tidak akan susah dimengerti bahwa semenjak beberapa ribuan tahun yang lalu Rabies merupakan simbol bagi penyakit yang menyerang anjing dan membuat anjing seperti gila (”mad Dog” )(Wilkinson, 2002).
Menurut catatan sejarah yang ditemukan, Rabies telah dikenal 2300 SM sejak zaman Mesopotomia. Legal dokumen pada zaman Mesopotomia menyatakan bahwa setiap orang yang memiliki anjing yang bersifat ” viscious”/ Ganas dan mengakibatkan gigitan pada orang lain akan diberikan denda (Wilkinson, 2002).   Pada abad ke 9 Inggris pernah mengalami masalah Rabies. Di Inggris Rabies tidak hanya menular pada Anjing tetapi juga kucing dan Rubah (red Fox). Berbagai aturan terkait dengan pemeberantasan Rabies di Inggirs oun dilakukan antara lain: Metropolitan Street Act (1867), Rabies Order(1887) dan Act of Parliament (1897)(Majalah Poultry Indonesia, 2010). 
Di Indonesia, pertama kali dilaporkan secara resmi oleh Esser di Jawa Barat, tahun 1884. Kemudian oleh Penning pada anjing pada tahun 1889 dan oleh E.V. de Haan pada manusia (1894).   Penyebaran Rabies di Indonesia bermula dari tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi selatan sebelum perang Dunia ke-2 meletus. Pemerintahan Hindia Belanda telah membuat peraturan terkait rabies sejak tahun 1926 dengan dikeluarkannya Hondsdolsheid Ordonansi Nomor 451 dan 452, yang juga diperkuat oleh Staatsblad 1928 Nomor 180. Selanjutnya selama Indonesia dikuasai oleh Jepang situasi daerah tertular Rabies tidak diketahui secara pasti.
Setalah tahun 1945 dalam kurun waktu kurang dari 35 tahun (1945-1980) setelah merdeka Rabies menyebar hampir ke 12 provinsi lain, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sulawesi Utara (1956), Sumatera Selatan (1959), DI. Aceh (1970), Lampung (1969), Jambi dan Yogyakarta (1971), DKI Jaya dan Bengkulu (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), dan Kalimantan Tengah (1978). Dan pada era 1990-an, provinsi di Indonesia yang masih bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, dan Papua (Departemen Pertanian, 2007).
Peraturan terkait Rabies pun telah banyak dibuat setelah warisan dari pemeriantahn kolonial dengan dikeluarkannya SK Bersama Tiga Menteri (Pertanian, Kesehatan, dan Dalam Negeri) pada tahun 1978 dan Pedoman Khusus dari Menteri Pertanian pada tahun 1982.
Rabies saat ini masih dinyatakan bebas di beberapa pulau-pulau kecil Propinsi kawasan timur Indoensia dan pulau –pulau sekitar Sumatera kecuali Nias yang dinyatakan terjangkit Rabies di tahun 2010.
Kerugian ekonomi Rabies secara nyata di Indonesia sejauh ini tidak ada yang meng-dokumentasikan secara ilmiah dan tidak ada laporan lengkap tentang dampak ekonomi penyakit Rabies ini. Bahkan secara global dokumentasi (jurnal penelitian)tentang damnpak ekonomi terhadap penyakit Rabies juga sedikit.
Pada umumnya beberapa dokumentasi ilmiah menyebutkan kerugian ekonomi untuk penyakit Rabies disebabkan oleh beban dari penyakit tersebut yaitu pembiayaan yang disebabkan karena adanya suatu penyakit tersebut seperti biaya rumah sakit, biaya obat-obatan termasuk biaya tidak melakukan aktivitas normal. Selain itu kerugian ekonomi lainya yang juga diperhitungkan adalah kerugian akibat biaya upaya pengendalian dan pemberantasan, seperti vaksinasi dan eliminasi selektif(Sterner and Smith, 2006).
Perhitungan ekonomi penyakit Rabies secara umunya dihitung sebagai kerugian ekonomi per kapita. Pada umumnya yang menjadi beban dari penyakit ini adalah penggunaan postexposure prophylaxis (PEP) untuk korban hasil gigitan, penggunaan vaksinasi secara lengkap dan biaya langsung terkait medis sekitar US$ 1.707 per kapita (menurut biaya tahun 1995) tanpa melihat beban atau biaya akibat kehilangtan produktivitas akibat penyakit, ketidakmampuan melakukan aktivitas normal dsb. Selain itu dampak ekonomi lainnya adalah pembiayaan akibat upaya pengendalian dan pemberantasan (Sterner and Smith, 2006) selain dampak ekonomi sosial dan budaya lainnya (misalnya pariwisata, perdagangan, dsb).

ETIOLOGI
Agen Penyebab
Rabies disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus (dari bahasa Yunani Lyssa, yang berarti mengamuk atau kemarahan) family Rahbdoviridae (dar bahasa Yunani,  Rhabdos,  yang berarti batang).   Virus ini mendekati virus species Vesicular stomatitis Virus (VSV) dari genus Vesiculovirus. Keduanya memiliki persamaan morfologi, sturktur kimia dan siklus hidup yang mirip (Wunner, 2002).    

Klasifikasi
Order     : Mononegavirales
Famili     : Rhabdoviridae
Genus     : Lyssavirus
Spesies  : Rhabdovirus (Virus Rabies)

Sifat Agen
Struktur Agen           
Sturktur virus Rabies mirip dengan family Rhabdoviridae yang lain yaitu berbentuk batang seperti peluru (seperti Rhabdoviridae yang lain)dengan ukuran rata-rata 180 nm panjang 75 nm lebar dengan ukuran ukuran spike  10 nm. Virus ini terdiri dari RNA (2-3%), protein (67-74%), lemak (20-26%) dan karbohidrat (3%) yang menyatu menjadi strukutur utama virus ini (Wunner, 2002).   
                       
Struktur dasar dari Lyssavirus dapat dilihat pada gambar dibawah ini

Gambar . 1. Virus Rabies Penampang Memanjang (a) dan Melintang (b)

(a) 

(b) 
Sumber: (Division of Viral and Rickettsial Diseases, 2010)

ANTHRAX

Dari :

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Anthrax atau penyakit radang limpa merupakan salah satu penyakit zoonosis di Indonesia yang disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini selalu muncul setiap tahun serta menyebabkan kerugian yang besar bagi peternak. Istilah anthrax berarti arang, sebab penyakit ini menimbulkan gejala pada manusia berupa bisul kehitaman yang jika pecah akan menghasilkan semacam borok (bubonic palque). Dahulu, penyakit ini dikatakan sebagai penyakit kutukan karena menyerang orang yang telah disisihkan di masyarakat, bahkan bangsa Mesir pun pernah terkena panyakit ini kira-kira 4000 tahun sebelum masehi. Anthrax ditemukan oleh Heinrich Hermann Robert Koch pada tahun 1877, sedangkan Louis Pasteur adalah ilmuwan pertama penemu vaksin yang efektif untuk Anthrax pada tahun 1881.

Menurut catatan anthrax sudah dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda tepatnya pada tahun 1884 di daerah teluk Betung, Lampung. Pada tahun 1975, penyakit ini ditemukan di enam daerah yaitu Jambi, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Menurut data yang ada saat ini terdapat 11 provinsi yang endemis anthrak yaitu Jambi, Sumatera Barat, DKI Jakarta (Jakarta Selatan), Jawa Barat (Kota Bogor, Kab. Bogor, Kota Depok), Jawa Tengah (Kota Semarang, Kab. Boyolali), NTB (Sumbawa, Bima), NTT (Sikka, Ende), Sulawesi Selatan (Makassar, Wajo, Gowa, Maros), Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Papua. Daerah-daerah yang mempunyai catatan sejarah serangan anthrax akan tetap endemik yang berpotensi kuat untuk serangan berikutnya. Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit ini cukup signifikan. Hewan akan mengalami penurunan bobot badan hingga kematian yang cukup banyak karena mudah menular dan bertahan di tanah dalam jangka waktu yang cukup lama (lebih dari 50 tahun).

Gambar 1. Peta Daerah Endemik Anthrax
 ETIOLOGI
Penyebab
Anthrax disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang merupakan bakteri gram positif non motil dan berspora. Di bawah mikroskop tampak terlihat seperti barisan batang panjang dengan ujung-ujungnya siku, sementara di dalam tubuh inang, Bacillus anthracis tidak terlihat rantai panjang, biasanya tersusun secara tunggal atau pendek serta melindungi dirinya dalam kapsul, dan akan membentuk spora segera setelah berhubungan dengan udara bebas karena  spora diketahui dapat bertahan hidup bertahun-tahun di dalam tanah yang cocok dan bisa menjadi sumber penularan pada hewan dan manusia.  

Oleh karena itu, bangkai hewan yang positif terkena anthrax atau mati dengan gejala anthrax tidak diperbolehkan dibedah untuk menutup peluang bakteri anthrax bersinggungan dengan udara.  Hewan yang mati akibat anthrax harus langsung dikubur atau dibakar.  Semua peralatan kerja yang pernah bersentuhan dengan hewan sakit harus direbus dengan air mendidih minimal selama 20 menit. Bacillus anthracis tidak begitu tahan terhadap suhu tinggi dan berbagai desinfektan dalam bentuk vegetatif. 


EPIDEMIOLOGI
Hewan Rentan
Semua hewan berdarah panas dapat terserang penyakit anthrax yang tingkat kepekaannya akan berbeda di antara spesies.  Domba adalah yang paling peka, diikuti sapi, dan kuda. Sedangkan kerbau dan babi tergolong lebih tahan terhadap serangan anthrax. Penyakit ini bahkan pernah menyerang burung unta di daerah Purwakarta (Jawa Barat). Masa inkubasi bervariasi antara 3 - 5 hari.  

Dalam dunia kedokteran hewan anthrax sebenarnya merupakan penyakit yang sumber penularannya terdapat di tanah, hewan sering terkena akibat memakan sesuatu yang terdapat di tanah yang tercemar oleh spora Bacillus anthracis (daerah endemic).